Tuesday, November 6, 2012

Manage expectation

Pagi-pagi seorang Ibu menelepon sudah berada di depan toko saya untuk membeli produk yang akan dibawanya ke luar kota. Saya segera meminta maaf karena jam buka toko kami adalah jam 9 pagi, sementara sekarang masih jam 7 lewat, dan saya belum mandi pula, hehehe...

Si Ibu mendesak agar saya bisa segera berangkat ke toko dan si Ibu bersedia menunggu, tetapi saya kebetulan ada acara ke tempat lain pagi itu sehingga saya meminta si Ibu untuk menunggu sebentar sementara saya mencoba menelepon karyawan agar bisa datang lebih pagi. Singkat cerita, karyawan saya menyanggupi untuk datang lebih pagi, tetapi katanya paling cepat jam 8.15.

Saya menelepon si Ibu lagi dan bilang bahwa nanti ada karyawan saya yang akan datang buka toko sekitar jam 8.30, dan ternyata karena kebetulan pagi itu jalanan macet maka karyawan saya pun sampai toko jam 8.45 dan si Ibu sudah tidak ada. Saya pun baru tahu jam 9.30 saat si Ibu marah-marah melalui sms bahwa saya seperti gak punya niat mau buka toko atau nggak, sms lagi bahwa anaknya sudah rewel karena terlalu lama menunggu, sms lagi bahwa sudah ditelepon terus oleh saudaranya, dan berbagai sms keluhan lainnya yang tentu saja gak ada hubungannya dengan saya :)

Saya berpikir sejenak untuk menyusun kata-kata balasan sms si Ibu, dan saya menulis bahwa saya meminta maaf sebesar-besarnya, dan kami sudah berusaha agar bisa datang secepatnya tetapi ternyata tidak seperti yang diharapkan.

Lama sms saya tidak dibalas, dan saya pikir mungkin si Ibu marah dan tidak akan membalas.

Tetapi agak siang si Ibu membalas sms dengan mengatakan bahwa ia pun minta maaf karena harus buru-buru pergi dan tidak bisa menunggu lagi. Sepertinya si Ibu sudah mengerti persoalannya.

Menjual adalah inti dari bisnis, dengan menjual maka bisnis memperoleh untung. Dengan ketidakmampuan kami untuk menjual pagi itu kepada si Ibu, maka sebetulnya kami sudah rugi secara potensial, harusnya pagi itu kami bisa mendapat keuntungan tetapi gagal kami peroleh.

Pagi itu si Ibu memaksa agar kami bisa datang ke toko 30 menit lagi atau sekitar jam 7.45 tetapi saya harus menolak karena tahu bahwa hal tersebut sulit dipenuhi, apalagi secara mendadak. Saya menawarkan sebisa mungkin akan buka toko jam 8.30 karena akan ada karyawan yang datang segera dan itupun kalau si Ibu bersedia menunggu lebih lama.

Ekspektasi si Ibu awalnya adalah bisa membeli pagi itu dan bersedia menunggu sampai jam 7.45 tetapi saya memberikan ekspektasi bahwa jam 8.30 akan melayani si Ibu, dan si Ibu bersedia. Walau akhirnya tidak terlayani tetapi si Ibu ternyata tidak terlalu marah karena kami memberikan ekspektasi untuk melayani jam 8.30 bukan mengikuti ekspektasi si Ibu yang jam 7.45.

Tentu akhirnya berbeda kalau kami meng-iya-kan saja ekspektasi si Ibu yang jam 7.45 padahal kami merasa sulit memenuhinya dan pasti si Ibu akan marah besar karena jam 8.30 pun kami belum datang karena sudah lebih 1 jam menunggu dari jam 7 lewat.

Walaupun akhirnya kami buka toko jam 8.45 yang berarti lewat 15 menit dari ekspektasi jam 8.30, si Ibu tidak terlalu marah dibandingkan kalau ekspektasinya jam 7.45 yang berarti lewat 1 jam, tentu akan marah besar.

Calon pembeli yang marah besar tentu sebisa mungkin tidak akan datang lagi bahkan bisa jadi menyebarkan cerita pengalaman jeleknya walau belum tentu itu sepenuhnya kesalahan kita. Tapi bagaimana kita me-manage ekspektasi dari calon pembeli seharusnya mempengaruhi apakah si calon pembeli akan tetap berinteraksi dengan kita atau tidak percaya lagi dengan kita.

Penjual memang harus confident, tapi kalau over confident maka resikonya semakin besar. Lebih baik terus berpegang pada prinsip "Low Expectation, High Delivery", bukan sebaliknya.

Ferdi Ramdhon
http://ferdiramdhon.blogspot.com