Tuesday, October 29, 2013

Jack Dorsey - Twitter Co-Founder

Hari-hari Jack Dorsey, Sabtu Merdeka
Tak hanya dikenal dengan ide-ide terobosannya, Jack juga dikenal radikal untuk mengembangkan struktur perusahaan. Jack telah menjadi inspirasi menarik untuk semua pengusaha, bagaimana menjalankan suatu perusahaan. Selain itu, ia juga menjadi contoh pemimpin yang bertanggung jawab.
Menurut Jack, seorang pemimpin memiliki tiga tanggung jawab. Pertama, pemimpin bertanggung jawab membuat managemen bekerja efektif dan efisien, dan memungkinkan untuk memiliki visi sama. Kedua, pemimpin harus bertanggung jawab untuk mengatur dan menjaga komunikasi. Ketiga, pemimpin harus tetap menjaga dana di bank, meski itu dari keuntungan dan investasi. Mengerti sumber dana itu sangat penting, agar mengetahui batasannya.
Meski Jack sibuk dalam dua pekerjaan di Twitter dan Square, ia pun berusaha untuk menghindari stres. Bagi Jack, waktu istirahat terjadi pada Sabtu. Jack menyukai tugasnya dengan teratur dalam sepekan. Senin merupakan waktu untuk rapat dan pertemuan manajemen, Selasa fokus mengembangkan produk. Rabu konsentrasi di marketing. Kamis, membangun mitra di luar. Jumat membangun budaya di perusahaan. Minggu waktu untuk rekrutmen. Sabtu adalah waktu istirahat.

Monday, October 21, 2013

Menyerah


surrender1
Action members,
 
Tadinya untuk catatan Kamis saya kali ini saya ingin menulis tentang sebuah film yang luar biasa inspiratif, yang kita tonton bersama di acara HBH TDA Pusat beberapa waktu lalu. Apalagi kalau bukan film “Crocodile in the Yangtze” yang mengisahkan perjalanan Jack Ma mendirikan Alibaba.com yang fenomenal. Tapi tidak seru kalau saya menuliskan film tersebut dalam sebuah tulisan singkat. Terlalu banyak “sudut pandang” yang bisa diangkat dari film tersebut, sehingga sebuah tulisan tidak cukup mewakilinya. 
 
Maka saya tidak akan menulis sebuah “resensi”, namun hanya ingin mengangkat sebuah karakter manusia yang sebenarnya sangat umum, namun sangat jelas terlihat pada diri seorang pengusaha seperti Jack Ma, yaitu: Pantang Menyerah. 
 
Dalam film tersebut tergambar kegigihan seorang Jack Ma, mulai dari saat mengenalkan internet ke perusahaan dan lembaga pemerintah di RRC, disaat internet belum dikenal. Menjalankan perusahaan yang ditahap awal hanya bisa ‘membakar uang”. Hingga hantaman bertubi-tubi dari kompetitor dengan sumber-daya nyaris tanpa batas. Semua dijawab dengan satu sikap: Pantang Menyerah.
 
Dan saya yakin hampir semua pengusaha mengalami apa yang pernah dihadapi Jack Ma. Dalam bentuk dan skala yang berbeda-beda tentunya.
 
Ada momen-momen dimana seorang pengusaha yang tengah menghadapi tantangan dalam membangun usaha akan mengatakan pada dirinya: Ya sudah lah, nyerah saja. Lempar handuk.
 
Saya berkali-kali menghadapinya. Mungkin Anda juga demikian. 
 
Entah itu situasisasi… eh, situasi keuangan yang sepertinya tidak ada jalan keluarnya. Entah itu tantangan pekerjaan yang sepertinya mustahil dilaksanakan. Entah itu hubungan antar personal yang buruk dan sepertinya tidak bisa diperbaiki.
 
Dan setiap saat itu terjadi, kadang saya juga mempertimbangkan untuk menyerah. 
 
Namun, ada tiga hal yang seringkali kemudian membuat saya menunda untuk menyerah. Tiga hal yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan film yang saya tadinya mau saya bahas, namun menurut saya penting untuk diketahui, dan mungkin juga bermanfaat bagi Anda.
 
Apakah tiga hal tersebut? Coba kita simak satu per satu:
 
Pertama: Seringkali Kita Belum Mengeluarkan Kemampuan Terbaik 
Ini yang paling sering saya alami. Ketika saya hampir menyerah, saya biasanya bertanya pada diri saya sendiri: Apakah saya sudah mengeluarkan kemampuan terbaik saya? Apakah hanya itu yang bisa saya lakukan? Dan, biasanya kalau jujur jawabannya adalah: tidak. 
 
Ternyata dalam banyak kejadian, sebenarnya masih banyak yang bisa saya lakukan tapi belum atau tidak mau saya lakukan. Contohnya, dalam sebuah kesempatan, perusahaan saya nyaris tidak bisa mengikuti sebuah lelang pekerjaan karena dokumen kami tidak lengkap. Untuk melengkapinya tinggal tersisa satu hari, dan sepertinya mustahil karena melibatkan pihak lain. Kami hampir menyerah. Lalu saya memikirkan pertanyaan di atas. Dan ternyata banyak hal yang masih bisa kami lakukan. Dan setelah dilakukan, ternyata tidak sesulit yang diduga, dan tantangan bisa diselesaikan.
 
Jadi persoalannya ternyata tinggal mau melakukan atau tidak. 
 
Jika kita memutuskan menyerah, jalan keluar langsung tertutup. Namun ketika kita bersedia melakukan yang masih kita bisa lakukan, apapun itu, jalan keluar pun ternyata terbuka.
 
Kedua: Kebanyakan yang Memutuskan “Menyerahlah!” adalah Orang Lain.
 
Nah ini yang paling seru. Setelah saya pikir dan hitung, ternyata yang sering mengatakan “sudahlaah… menyerah saja” itu kebanyakan adalah orang lain. Bukan diri kita sendiri. Tentu dengan bahasa, kata-kata, dan cara mengucapkan yang berbeda-beda.
 
Kadang-kadang terbungkus rapi dalam kalimat-kalimat manis menghibur yang memuat “sugesti” yang sama: menyerahlah.
 
Contohnya disaat awal membangun usaha dan belum langsung bisa berjalan lancar, banyak teman yang datang menghibur. “Wajarlah belum pernah punya pengalaman bisnis, yaa kalau mau tutup ya tutup aja, wajar kok”. “Biasalah itu cash-flow amburadul, itu tanda nya belum siap punya usaha”. “Gak apa-apa menyerah hari ini, nanti bangkit kemudiaaan”. Terdengar akrab di telinga?
 
Pesan dari kalimat-kalimat menghibur tadi cuma satu: Menyerahlah!
 
Lha kok keputusan menyerah datangnya dari orang lain? Ini yang sulit diterima. Apalagi kita sampai hanyut dengan pernyataan-pernyataan tersebut, dan benar-benar menyerah. 
 
Sebelum menerima “keputusan orang lain” tadi, coba kita tanyakan lebih dahulu kepada diri kita: Benarkah kita ingin menyerah sekarang? Apa dampak keputusan menyerah hari ini terhadap pencapaian cita-cita kita? Bagaimana kita akan menceritakan keputusan menyerah ini kepada orang-orang yang kita cintai?
 
Waah kalau sudah ditanya begitu biasanya kita akan katakan: eeits… tunggu dulu, Saya belum mau menyerah.
 
Ketiga: Seringkali Jalan Keluarnya Sudah Kita Miliki
 
Yang kadang bikin puyeng dan ingin menyerah adalah karena kita belum-belum berasumsi bahwa persoalan yang kita hadapi tidak bisa kita selesaikan sendiri tanpa peran, bantuan, maupun sumber-daya dari pihak lain. Sehingga ketika bantuan tidak ada, kita ingin menyerah.
 
Contohnya saat keuangan sedang kritis, biasanya kita langsung berpikir, siapa yang bisa bantu? Siapa yang bisa memberikan dana talangan? Mau ngutang kemana? Akhirnya malah jadi sibuk nambah hutang, dan kelak menciptakan masalah baru. Dan kalau gak ada yang membantu, lebih gawat lagi, jadi gak melakukan apapun. Dan menyerah.
 
Padahal coba kalau ditanyakan lagi: betulkah kita memerlukan “bantuan” tersebut? Dalam banyak kasus, justru ternyata tidak diperlukan.
 
Saya pernah menghadapi situasi demikian. Saat punya kewajiban keuangan yang sepertinya tidak ada jalan keluarnya, ternyata ketika berdiskusi dengan pihak yang menagih malah muncul gagasan menyelesaikan kewajiban dengan jasa yang kami berikan. Ternyata solusinya tidak perlu mencari jauh-jauh. Sesuatu yang sudah kami miliki sendiri.
 
Langsung menggantungkan diri pada penyelesaian dari luar sana, tanda disadari malah menjadi penegasan, bahwa kita memang tidak mampu, bahwa kita tidak bisa, bahwa kita tidak layak. Ini kan bahaya. 
 
Padahal semua manusia sudah dibekali dengan kemampuan terbaik, yang akan bisa menyelesaikan banyak persoalan. 
 
Dalam menjalankan usaha, dalam kehidupan berumah-tangga, dalam kehidupan bermasyarakat, ataupun dalam mengelola organisasi komunitas, bisa jadi kita dihadapkan tantangan yang sepertinya tidak ada jalan keluarnya. Namun sebelum kata menyerah terucap, pertimbangkan tiga hal tadi.
 
Salam sukses, menebar rahmat.
 
 
Fauzi Rachmanto
@fauzirachmanto

Sunday, October 20, 2013

Tanpa Mahkota

Mahkota, sejak lama menjadi simbol kekuasaan. Para raja jaman dahulu mengenakan mahkota. Karenanya jaman dahulu orang banyak yang mengincar “Mahkota”. Berbagai upaya dilakukan supaya berkesempatan menjadi orang yang mengenakan mahkota.

Namun tidak untuk seorang George Washington. Konon, dahulu ketika negara baru bernama Amerika Serikat berperang melawan Kerajaan Inggris yang ingin tetap menguasai tanah Amerika, para pendiri Amerika Serikat sempat menawarkan untuk memahkotai Jenderal Washington. Argumentasi nya adalah, dengan memiliki seorang Raja, maka rakyat Amerika akan lebih bersatu dalam melawan Kerajaan Inggris.

Konon Washington menolak mentah-mentah gagasan ini. Dan menyatakan bahwa: Rakyat Amerika-lah yang harus dimahkotai, bukan seorang George Washington.
Saya mendapatkan cerita ini dari buku “Breakthrough Company” karya Keith McFarland. Entah cerita ini berdasarkan fakta sejarah atau tidak. Namun gagasan yang terkandung di dalamanya sangat menarik. Bahwa seorang pemimpin sejati, akan memilih untuk menolak penghormatan jika itu untuk diri pribadi nya. Karena bagi nya, seharusnya orang-orang yang dipimpinnya-lah yang layak mendapat penghormatan.

Saya teringat dengan cerita ini ketika sedang mengadakan perjalanan mengunjungi beberapa kota di Indonesia untuk bertemu teman-teman pengurus TDA. Melanjutkan perjalanan bulan-bulan sebelumnya. Bulan ini saya berkesempatan bertemu dengan teman-teman di Medan, Mataram, Makasar dan Manado. Semangat yang ditunjukkan oleh teman-teman umumnya sama, bahwa mereka semua sepakat untuk “Memahkotai TDA” bukan memahkotai diri sendiri. Segala upaya, segala kesibukan, dilakukan tidak untuk mendatangkan pujian atau penghormatan untuk diri sendiri. Namun untuk kemanfaatan bagi TDA dan anggota-anggotanya.

Dengan mengamati kiprah mereka secara langsung, saya tahu bahwa mereka tidak sedang membangun monumen untuk dirinya sendiri. Namun membangun sebuah sistem yang akan melayani anggota, untuk saat ini dan dimasa yang akan datang.

Dan ini sejalan dengan budaya yang terus kita bangun di TDA. Pengurus boleh berganti, namun aktivitas di TDA harus terus berjalan dan terus membawa kemanfaatan untuk anggota dan masyarakat. Sekalipun jika kelak kita sebagai individu-individu pengurus tidak dikenang, yang penting aksi nyatanya yang membawa perubahan. Inilah wujud keikhlasan. Dan TDA di seluruh Indonesia, saya rasakan sangat kental dengan keikhlasan pengurus-pengurusnya.

Ada sebuah ungkapan yang sangat saya sukai, dan sering saya ulang: “Tanamlah benihnya dan pergilah. Siapapun yang memanen buahnya, biarlah dia memanennya.”

Begitulah jika keikhlasan sudah hadir di hati. Tidak ada lagi hitung-hitungan, siapa yang kelak akan menerima manfaat.

Tunggu… Itu kalau di organisasi. Bagaimana dengan perusahaan?
Prinsipnya sama. Anda bisa memilih untuk “memahkotai diri sendiri” atau “memahkotai perusahaan”.
Mereka yang sibuk memahkotai diri sendiri akan sibuk dengan atribut, hiasan, dan simbol-simbol “kesuksesan”. Begitu usaha bisa mendatangkan cash lebih sedikit saja, maka yang terpikirkan adalah bagaimana untuk mengangkat diri sendiri, terkadang lupa bahwa yang harus dibesarkan adalah perusahaan. Bukan nama atau citra pemiliknya. Dan godaan menuju kesana dewasa ini sangat banyak.

Mahkota nya pun beraneka ragam. Saya telah menyaksikan pengusaha-pengusaha muda yang sangat menjanjikan, namun pada akhirnya sibuk dengan urusan memahkotai diri nya, sehingga usaha nya tdk berkembang optimal. Kesibukan membangun citra sampai-sampai menyita waktu lebih banyak dibanding mengurus usaha. Belum lagi urusan aksesoris sebagai “pengusaha sakses” yang wajib dimiliki. Mulai dari kendaraan, gadget, lingkungan pergaulan.

Terkadang jadi lupa, bahwa sesungguhnya yang harus dimahkotai adalah perusahaannya. 
Tentu ada juga contoh sebaliknya. Cukup banyak juga. Sahabat-sahabat pengusaha yang hidupnya tetap sederhana, minim publisitas, jauh dari selebritas, namun hasil kerja nya luar biasa. Karena mereka memilih untuk memahkotai perusahaannya, dan tetap ikhlas sekalipun dirinya mungkin dianggap “tiada”.

Mungkin karena sudah panggilan jiwa, maka tidak penting lagi apakah diri nya yang menyandang pujian, atau orang lain. Bagi mereka, senyum yang mengembang di bibir pelanggan, tawa para karyawan, dan kepuasan mitra usahanya, sudah cukup.

Para aktivis TDA, yang bekerja ikhlas tidak demi nama pribadinya. 
Para pengusaha, yang bekerja ikhlas tidak demi kejayaan pribadinya.
Mereka akan tetap besar, sekalipun tanpa mahkota.